oleh

Opini : Nasib Dunia Pendidikan kita di Tengah COVID-19

>

Oleh: Dr. H. Abdul Wahid, M.A*
(Muballigh dan Akademisi Makassar)

Kehadiran virus COVID-19  bagaikan tsunami besar yang tengah menerjang dunia termasuk  Indonesia dan akibat dari terjangannya sungguh tidak bisa diduga karena meneejang seluruh sendi kehidupan manusia di sekitarnya salah satu diantaranya yang paling terdampak adalah dunia pendidikan.

Dunia pendidikan kita di Indonesia praktis fakum akibat dari terjangan Covid-19, mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi. Fakum dalam arti, proses pembelajaran tidak bisa lagi dilakukan seperti biasa secara tatap muka langsung (ofline), duduk di kelas bersama dengan siswa (mahasiswa) yang lain dan tatap muka secara langsung dengan guru (dosen), namun saat ini proses pembelajaran telah dialihkan ke model daring (online) akibat pandemi Covid-19 dan tidak menutup kemungkinan model pembelajaran daring ini ke depan akan terus menjadi salah satu pilihan bagi sekolah, walau pandemi Covid-19 sudah melandai dari Indonesia.

Hadirnya Covid-19 di Indonesia mengharuskan masyarakat untuk mematuhi social distancing (menjaga jarak sosial), dan physical distancing (menjaga jarak fisik) tujuannya untuk meminimalisir penyebaran yang bisa kita sebut tsunami Covid-19.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) merespon dengan kebijakan belajar dari rumah, melalui pembelajaran daring dan disusul peniadaan Ujian Nasional untuk tahun ini serta penerimaan calon mahasiswa baru tahun ini semua dilakukan secara online (daring).

Dalam rangka mematuhi pemberlakuan kebijakan physical distancing yang kemudian menjadi dasar pelaksanaan belajar dari rumah, dengan pemanfaatan teknologi informasi yang berlaku secara tiba-tiba, tidak jarang membuat para guru dan siswa kaget termasuk orangtua bahkan semua orang yang berada dalam rumah.

Walaupun sistem pembelajaran daring (online) sudah mulai diperkenalkan di Indonesia pada beberapa tahun sebelumnya, hanya saja masyarakat belum terlalu paham dan familiar dengan model pembelajaran seperti ini, sehingga bisa dikatakan masyarakat merasa kesulitan di dalam penggunaan media seperti ini, terutama bagi masyarakat yang tinggal di pelosok dan jangkauan internet juga kadangkala  tidak bagus.

Untuk itu,  pembelajaran dengan model daring (online) adalah bagaikan sambaran petir di siang bolong bagi siswa, sekolah dan lebih khusus lagi bagi orangtua, karena bagi orangtua dengan pemberlakuan model pembelajaran daring ini tidak hanya memaksa mereka untuk turut andil mendampingi, mengawasi dan memberikan fasilitas perangkat belajar seperti HP android, laptop dan lain sebagainya serta  yang tak kalah pentingnya adalah menyiapkan biaya untuk membeli paket internet yang tidak sedikit di tengah situasi ekonomi sangat sulit saat ini.

Di sisi lain, dengan penerapan pembelajaran online ini justru membuat para siswa dan orangtua semakin tertekan (stres) karena harus menyelesaikan tumpukan tugas “yang lebih berat” yang dibebankan dari sekolah dibandingkan dengan pengalaman sekolah luring (ofline) selama ini relatif lebih ringan. Dengan kata lain sekarang orangtua ikut sekolah mendampingi anak-anaknya yang sekolah dari rumah akibatnya banyak pekerjaan  rumah terbengkalai.

Mengacu drai UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan nasional adalah “untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Dalam UU ini secara garis besar disebutkan tujuan pendidikan nasional secara adalah menjadikan generasi bangsa yang berilmu, beriman dan berakhlak luhur.

Kalau demikian adanya, maka model pembelajaran daring (online) seharusnya mengacu dari tujuan pendidikan nasional tersebut, yaitu para guru (dosen) seharusnya tidak hanya berkonsentrasi memberikan tumpukan tugas kepada siswanya hanya untuk mengasah otak mereka yang bersifat teoritis, tapi bagaimana peran guru dapat memotivasi siswa untuk dapat kreatif, mandiri dan yang tak kalah pentingnya memiliki akhlak yang luhur baik kepada guru, lingkungan dan kepada kedua orangtuanya.

Dalam sejarah hidup para ulama besar terdahulu dapat kita temukan bagaimana perhatian mereka terhadap akhlak yang sangat luar biasa, misalnya seorang ulama bernama ‘Abdullah bin Mubarak pernah berkata, *_“Saya mempelajari akhlak selama tiga puluh tahun sebelum saya mempelajari ilmu yang lain”._* Ungkapan ini sejalan dengan pesan Nabi Saw. dalam salah satu hadis, _“Sesungguhnya aku diutus ke muka bumi ini untuk memperbaiki akhlak manusia”_ (HR. Al-Hakim).

Memiliki generasi bangsa ke depan yang pintar itu penting, namun jauh lebih penting memiliki moral (akhlak) yang baik. Saat ini Indonesia sudah kebanjiran orang pintar tapi kita kekurangan orang yang memiliki akhlak luhur.

Di sisi lain fakta dunia pendidikan kita secara umum saat ini belum bisa mencapai secara maksimal dari apa yang diharapkan oleh UU Pendidikan Nasional, hal ini ditandai begitu banyaknya tawuran terjadi antar pelajar dan mahasiswa yang tidak hanya mengganggu keamanan dan ketertiban di lingkungan sekolah (kampus) mereka tapi juga dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat umum di sekitarnya, sehingga  memaksa pihak keamanan khususnya Polri untuk turun tangan dalam melerai tawuran tersebut.

Untuk itu ke depan kita berharap lembaga pendidikan mampu berkontribusi dan membantu Polri secara maksimal dalam menciptakan kamtibmas di tengah masyarakat, terlebih dalam kondisi pandemi COVID-19 seperti saat ini.(*)

Editor : Andi Eka/Herman Djide/Mansur/Robin/Asrat Tella/Syamsul Bakhri/Saiful Dg Ngemba/Andi A Effendy
.
.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *