Opini
Masyarakat kini diperhadapkan pada sebuah kondisi dimana tradisi kebiasaan lama berangsur-angsur ditinggalkan dan membangun kebiasaan-kebiasaan baru yang mungkin berbeda dengan masa sebelumnya. Sebut saja kebiasaan-kebiasaan dimasa pandemi COVID-19 sebagai suatu keadaan transisi menuju tatanan hidup baru seperti aturan menjaga jarak, menggunakan masker, mencuci tangan, pengukuran suhu, belanja online, dan sebagainya. Ini dapat diasumsikan bahwa kondisi dan kebiasaan baru yang dibangun saat ini adalah sebuah proses adaptasi diri/sosial untuk dapat berinteraksi dan bersosialisasi pada kenormalan baru.
Sejalan dengan itu setelah memasuki era industri 4.0 dan bahkan sudah akan memasuki era 5.0, gaya hidup (life style) manusia sangat berbeda dengan era sebelumnya. Saat ini sudah sebahagian besar interaksi dan transaksi sosial beralih dari sistem konvensional-manual ke sistem digital-virtual. Peran internet, robot-robot cerdas dan artificial intelligence semakin mendominasi dan menggeser peran-peran manusia dalam berbagai sektor. Raelitas dan keadaan seperti ini otomatis memengaruhi lahirnya perilaku dan kebiasaan-kebiasaan baru. Peradaban global cepat atau lambat pasti akan memengaruhi sendi-sendi kehidupan dan berpotensi mengeliminasi tradisi dan nilai-nilai kearifan budaya lokal yang dimiliki.
Di sisi lain, secanggih apapun teknologi, manusia tetaplah mahluk yang memiliki cita, rasa dan karsa. Untuk menghadapi manusia yang berperasaan tersebut, teknologi dengan segala kecanggihannya ternyata tidak mempu memenuhi semua kebutuhan mereka. Hal lain yang bisa mengisi kekosongan tersebut adalah kearifan budaya lokal. Dalam pelaksanaan kebiasaan dan tatanan kehidupan baru ini, untuk menghadapi masyarakat dengan segala kemajemukan dan berbagai ciri khas, kolaborasi dengan penerapan local wisdom adalah cara yang efektif untuk memaksimalkan penerapannya.
Salah satu yang menjadi fokus POLDA Sulawesi Selatan dalam menggarap local wisdom ini adalah dengan menggagas kampung tangguh dengan konsep Balla Ewako di beberapa daerah di Sulawesi Selatan. Gagasan Balla Ewako oleh POLDA Sulawesi-selatan adalah sebuah interpretasi program KAMPUNG TANGGUH yang dicanangkan oleh KAPOLRI dinilai sangat tepat dan senafas dengan kultur sosial masyarakat bugis Makassar.
Balla Ewako adalah paduan kata etnik Bugis-Makassar, “Balla” menurut bahasa artinya rumah atau tempat tinggal. Pada tradisi Bugis Makassar, “Balla” tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi ia adalah harga diri, simbol kehormatan bagi setiap keluaraga, sedangkan kata “Ewako” menurut bahasa artinya berani, semangat. Kata ini sangat akrab ditelinga orang Bugis Makassar terutama pada saat memberikan semangat dalam arena kompetisi atau perlombaan
Balla Ewako adalah sebuah konsep besar yang di dalamnya terdapat beberapa pilar, diantaranya “siri’ na pacce/pesse”. Secara etimologi, Siri’ berarti rasa malu (harga diri), sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebut Pesse yang berarti pedih atau pedas (keras, kokoh pendirian). Secara terminologi, siri’ na pace bisa dipahami sebagai bentuk rasa prihatin dan kemampuan untuk bisa merasakan perasaan dan penderitaan orang lain atau dalam bahasa formalnya bisa dipahami sebagai empati. Rasa empati ini adalah modal sosial yang sangat besar untuk melahirkan masyarakat yang tangguh. Manusia sebagai mahluk sosial yang hidup berdampingan dengan sesama manusia akan sangat membutuhkan bantuan dari manusia lain baik berupa dukungan materil maupun moril. Pandemi ini membuat sebagian masyarakat rentan dengan berbagai masalah yang dihadapi, mulai dari kesehatan khususnya bagi yang terjangkit COVID, ekonomi yang melemah, serta kesulitan dalam menjalankan aturan baru. Oleh karena itu, empati sangat diperlukan sebagai bentuk dukungan sosial masyarakat, sehingga mereka merasa memiliki energi dan kekuatan baru karena masyarakat tidak merasa berjuang sendiri menghadapi situasi sulit ini.
Nilai kearifan lain yang terkandung dalam konsep Balla Ewako adalah Sara’. Dalam budaya Bugis Makassar, sara’ adalah perangkat penyelenggara kegiatan spiritual. Pencerminan sara’ dapat dilihat dalam struktur pemerintahan dan Imam di tingkat Distik (Kecamatan), sehingga merupakan sebuah struktur dengan fungsi-fungsi melayani penghayatan dan pengalaman syariat di kalangan ummat, yang sistemnya serupa dengan struktur pemerintahan sipil. Sosialisai penerapan new normal dan anjuran penerapan protokol kesehatan oleh lembaga sara’ akan sangat efektif karena secara sosio spiritual masyarakat menganggap sara’ adalah perwakilan Tuhan di muka bumi sehingga mematuhinya adalah sebuah kemutlakan. Masyarakat juga akan memperoleh motivasi spiritual sehingga mereka memahami situasi ini sebagai sebuah ujian bukan sebagai sebuah musibah dengan adanya sara’ ini. Prespektif yang positif tersebut akan semakin menguatkan psikologis masyarakat karena kebutuhan mereka sebagai mahluk spiritual merasa terfasilitasi.
Sebagai sebuah konsep pemberdayaan komunitas berbasis local wisdom dan kampung tangguh, Balla ewako dilaksanakan dengan semangat gotong royong. Unsur kepolisian yang di wakili oleh babinkantibmas bekerjasama dengan unsur TNI (babinsa), pemerintah desa dan masyarakat sekitar turut bahu membahu menyukseskan program ini dalam suasana yang tertib dan humanis. Kepolisian dan TNI yang selama ini dikenal tegas dan disiplin, ternyata tetap mampu menunjukan keluwesan ketika terjun dan terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Semangat kekompakan tersebut mampu membuat era new normal dan era globalisasi bisa dengan mudah dihadapi bersama.(Bravo POLRI-POLDA SUL-SEL).
Ditulis Oleh :
Ahmad Razak
Dosen Psikologi UNM
Ketua Umum API Sul-sel
Editor : Andi Eka/Asrat Tella/Saiful Dg Ngemba/Syamsul Bahri/Robin/Andi A Effendy.
Komentar